Archive for Oktober 2014

  • Latar Belakang Perang dunia II beserta sebab umum dan khusus - Kelas 9

    0

    Latar Belakang Perang Dunia ke II

    Keadaan politik internasional menjelang Perang Dunia II menyerupai keadaan tahun 1900-1914 sebelum Perang Dunia I. Ada yang menyatakan bahwa Perang Dunia II merupakan lanjutan Perang Dunia I. Perang Dunia I merupakan balasm dendam Perancis terhadap Jerman karena dipermalukan dalam kekalahannya ketika kalah perang tahun 1870-1871. Selain itu dalam masalah industri, Jerman juga bersaing dengan Inggris. Dengan persaingan-persaingan itu maka terbentuklah persekutuan militer (aliansi). Ada dua persekutuan, yakni  Triple Alliantie  yang kemudian dikenal dengan “Blok Sentral” yang terdiri atas Jerman, Austria dan Italia.
    Sedangkan Triple Entente yang kemudian disebut “Blok Sekutu” yang terdiri atas Perancis, Inggris, Rusia dan lain-lain. Pada tanggal 1 Agustus 1914 Jerman mengumumkan perang kepada Rusia dan disusul Perancis mengumumkan perang kepada Jerman tanggal 3 Agustus 1914. Kemudian tanggal 4 Agustus Inggris mengumumkan perang kepada Jerman. Selanjutnya berkecamuklah perang yang hampir melibatkan seluruh dunia dikenal dengan Perang Dunia I. Perang ini berakhir dengan kekalahan Jerman yang menyerah pada tanggal 11 November 1918. Sebagai pihak yang kalah, Jerman harus membayar ganti rugi kepada Sekutu dengan dikuatkan dalam  Perjanjian Versailles pada tahun 1919. Kekalahan Jerman dengan telak ini memberi kesempatan kepada Adolf Hitler  membangkitkan bangsanya untuk melakukan balas dendam kepada Perancis. Adolf Hitler mengembangkan fasisme dan kemudian memulai Perang Dunia II dengan menyerbu Polandia pada tanggal di kota Danzig pada tanggal 1 September 1939. Peristiwa itulah yang menjadi sebab langsung terjadinya Perang Dunia II.





    Sebab - Sebab Umum dan Khusus terjadi Perang Dunia ke II

    Sebab umum :
    1. Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa ( Liga Bangsa-Bangsa ternyata tidak mampu mencegah pertikaian-pertikaian yang terjadi, khususnya di Eropa. )
    Trauma akan Perang Dunia I kemudian menginspirasi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson untuk menciptakan suatu konsep perdamaian. Wilson menuangkan pemikiran-pemikirannya ke dalam 14 poin untuk mencegah kembali terjadinya perang. Namun, setelah 14 poin ini dideklarasikan kepada negara-negara lain, hanya 4 poin yang berhasil disteujui sebab beberapa negara seperti Inggris, Perancis, dan Italia merasa keberatan. 14 poin Wilsom ini menjadi dasar atas pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dicetuskan oleh Wilson. Meskipun Wilson sebagai Presiden AS sendiri yang merancang pembentukan LBB, namun justru AS tidak bergabung di dalamnya. Sebab di dalam politik internal AS, terjadi perbedaan pendapat di antara Kongres dan Senat. Untuk itu, Wilson menyatakan bergabung dengan LBB atas nama pribadinya.
    LBB ini kemudian disebut sebagai organisasi internasional yang bertujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini terlihat dari Preamble di dalam Covenant of The League of Nationsitu sendiri yang menyatakan bahwa “In order to promote international co-operation and to achieve international peace and security, by the acceptance of obligations not to resort to war, by the prescription of open, just and honourable relations between nations, by the firm establishment of the understandings of international law as the actual rule of conduct among Governments, and by the maintenance of justice and a scrupulous respect for all treaty obligations in the dealings of organised peoples with one another, Agree to this Covenant of the League of Nations” (Dorn, 2008). Dengan adanya Covenant of The League of Nations yang ditandatangani pada tahun 1919 ini dapat menjadi dasar hukum bagi LBB untuk menjalankan operasionalnya. Di mana di dalam perjanjian ini terdapatPreamble serta 26 artikel yang menjelaskan mengenai keanggotaan LBB hingga perubahan amandemen di dalam LBB itu sendiri.
    Ketika LBB didirikan pada tahun 1920, 42 negara bersedia menjadi anggota organisasi ini. Keanggotaan LBB ini terus meningkat hingga mencapai 58 negara anggota di tahun 1934 hingga 1935 yang tersebar mulai dari Asia Tenggara, Eropa, hingga Amerika Selatan (http://geography.about.com/od/politicalgeography, 11 Oktober 2012). Kemudian di masa akhir LBB ini berdiri sebelum akhirnya runtuh di tahun 1946, 63 negara menyatakan bergabung menjadi negara anggota LBB. Dari 63 negara anggota LBB ini, nama Amerika Serikat tidak termasuk di dalamnya. Hal ini seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa AS menolak untuk bergabung ke dalam LBB dikarenakan keengganan Senat AS untuk menyetujui dan meratifikasi perjanjian LBB. Hal ini dikarenakan Senat tidak menyetujui Artikel kesepuluh dari Covenant of The League of Nationsmengenai kewajiban negara anggota dalam menjamin kemerdekaan dan perlwanan terhadap agresi. Penolakan Senat ini cukup kontras jika dilihat bahwa pencetus pendirian LBB ini sendiri adalah Wilson yang merupakan Presiden AS.
    Di dalam operasionalnya sebagai organisasi internasional, LBB memiliki struktur yang juga tertuang dan diatur di dalam Covenant of The League of Nations. Pada struktur ini, LBB memiliki tiga badan utama, yakni Assembly, Council, dan Secretariat. Di dalam Assembly, seluruh negara anggota yang tergabung berkumpul setiap tahunnya untuk membicarakan mengenai prioritas LBB sebagai organisasi. SedangkanCouncil merupakan badan yang terdiri dari empat anggota tetap yakni Inggris, Perancis, Italia, dan Jepang serta beberapa anggota tidak tetap yang dipilih setiap tiga tahun sekali (http://geography.about.com/od/politicalgeography, 11 Oktober 2012). Pada badan Secretariat terdapat Sekretaris Jendral yang bertugas untuk mengamati jalannya aktivitas di dalam organisasi.
    Keberadaan LBB sebagai organisasi internasional yang menjamin perdamaian dan keamanan dunia tidak berlangsung lama. Di mana pada tahun 1946 LBB dinyatakan bubar. Hal ini dikarenakan kegagalan LBB di dalam menangani sejumlah peperangan yang masih muncul. Beberapa perang tersebut antara lain invasi Italia terhadap Ethiopia di tahun 1935 dan invasi Jepang terhadap Manchuria di tahun 1932. Sehingga hal ini cukup bertolak belakang dengan Artikel 11 dari Covenant of The League of Nationsyang menyatakan bahwa setiap peperangan merupakan masalah di mana LBB wajib untuk mengatasinya. Meletusnya Perang Dunia II menjadi titik balik serta alasan utama yang semakin menyudutkan peran LBB, hingga kemudian LBB dinyatakan gagal dalam menjaga perdamaian dan dibubarkan.
    Ketiadaan peran dari negara besar seperti AS, Uni Soviet, dan Jerman menjadi alasan lain dibalik gagalnya LBB di dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Di mana dengan tidak adanya peran dari tiga negara tersebut, secara otomatis hanya terdapat Inggris dan Perancis sebagai negara yang memiliki pengaruh besar. Di lain sisi, Inggris dan Perancis memiliki ketidaksepahaman dan sering timbul konflik di antara keduanya. Sehingga hal ini menjadi alasan yang mendukung dibubarkannya LBB.
    Dari penjabaran mengenai LBB ini maka penulis dapat menyimpulkan serta beropini bahwa sebagai organisasi internasional, dasar hukum menjadi aspek dasar paling penting di dalam pembentukan organisasi. Penolakan AS untuk masuk ke dalam LBB karena tidak setuju terhadap salah satu Artikel LBB ini menjadi contoh nyata mengenai seberapa penting dasar hukum bagi sebuah organisasi. Hal ini juga menjadi contoh mengenai sifat kerelaan bagi suatu negara untuk bergabung di dalam organisasi internasional dan kesesuaiannya dengan kepentingan nasional negara tersebut. Di lain pihak, keberadaan AS sebagai negara besar masih banyak berpengaruh di dalam dunia internasional. Terlihat dari kegagalan LBB tanpa adanya pengaruh AS.

    Bukti kegagalan LBB dapat dilihat pada ketidakmampuannya mencegah agresi yang dilakukan oleh suatu negara atas negara lain, misalnya:
    a.  Penyerbuan Jepang atas Manchuria (1931)
    b.  Pendudukan Italia atas Abbessynia (1935)
    c.  Penyerbuan Jerman atas Polandia (1939)


    Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa menjalankan tugasnya disebabkan kelemahan dalam tubuh lembaga tersebut:
    a.    Tidak ada aturan yang bersifat mengikat karena semua didasarkan atas sukarela.
    b.   Tidak mempunyai kekuatan untuk menghukum negara-negara yang melanggar aturan Liga Bangsa-Bangsa.
    c.    Liga Bangsa-Bangsa lemah terhadap negara-negara besar.
    d.   Liga Bangsa-Bangsa menjadi alat politik negara-negara besar.
    Walaupun demikian LBB telah meletakkan dasar bagi manusia untuk memelihara hubungan antarbangsa. Struktur Liga Bangsa-Bangsa juga kemudian mengilhami struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa.
    1. Terjadinya perlombaan senjata  ( Perasaan saling curiga antar negara sehingga setiap negara berusaha mempersenjatai dan meningkatkan kemampuan tempur masing-masing, sehingga terjadi perlombaan senjata. )

      Para negara-negara maju saling berlomba memperkuat militer dan persenjataanya, dengan kegagalan LBB tersebut, dunia barat terutama Jerman dan Italia mencurigai komunisme Rusia, tetapi kemudian Rusia mencurigai fasisme Italia dan nasional-sosialis Jerman. Oleh karena saling mencurigai akhirnya negara-negara tersebut memperkuat militer dan persenjataannya.

    2. Terbentuknya kembali aliansi politik yang saling bermusuhan  ( Karena selalu dihantui perasaan saling curiga, maka setiap negara terus berusaha untuk memperkuat dirinya masing-masing dengan jalan mencari kawan sebanyak mungkin. Keadaan itu mendorong

    3. Terbentuknya persekutuan-persekutuan / aliansi politik yang saling bertentangan. yakni Triple Alliantie yang kemudian dikenal dengan “Blok Sentral” yang terdiri atas Jerman, Austria dan Italia. Sedangkan Triple Entente yang kemudian disebut “Blok Sekutu” yang terdiri atas Perancis, Inggris, Uni Soviet dan lain-lain.)

    4. Timbulnya imperialisme baru ( Beberapa negara yang telah berhasil mengatasi krisis politik dan ekonominya yang hancur akibat PD I, kemudian tumbuh menjadi Negara ultranasional yang menjalankan imperialisme gaya baru. Negara-negara ini merasa berhak dan berkewajiban untuk memimpin dan menguasai bangsa lain. Dengan anggapan itulah, mereka melaksanakan imperialisme gaya baru mereka.)

    5. Munculnya semangat balas dendam ( Dendam dan keinginan untuk membalas kekalahan dalam PD I yang dialami bangsa Jerman itu, terutama ditujukan kepada Inggris dan Perancis.)

    6. Perkembangan paham nasionalisme yang sempit ( Menurut Hitler, bangsa Jerman atau ras Aria adalah bangsa superior yang ditakdirkan Tuhan untuk memimpin bangsa lain. Paham nasionalisme itu akhirnya mendorong Jerman melancarkan politik ekspansi untuk menaklukkan negara-negara lain.)

    7. Terjadinya penyerbuan-penyerbuan. ( Peristiwa penyerangan itu antara lain sebagai berikut: Jepang menyerbu Cina pada tahun 1937. Jepang menyerbu secara mendadak pangkalan armada AS di Pearl Harbour pada tanggal 7 Desember 1941. Peristiwa ini memicu terjadinya Perang Pasifik.)


    Sebab khusus :

    1.      Di Eropa, (pada tanggal 1 September 1939 Jerman menyerang Polandia, sebuah Negara di bawah pengawasan Liga Bangsa-Bangsa. Sebaliknya pada tanggal 3 September 1939 negara-negara pendukung LBB, terutama Inggris dan Perancis menyerang Jerman.)


    2.      Di Pasifik, (pada tanggal 8 September 1941 Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Teluk Mutiara (Hawaii))
  • PKn - Kedudukan Polri / Polisi

    0

    Kedudukan Polri
    Polri merupakan salah satu alat negara yang memiliki kedudukan paling problematik. Sesuai dengan fungsi dan perannya, kedudukan Polri harus di tempatkan dalam posisi yang independen. Namun disisi lain apabila independensi kedudukan Polri salah dalam penataan systemnya maka Polri dapat menjelma menjadi institusi yang super power karena tugas dan kewenangannya yang begitu luas.  Di banyak negara demokratis, posisi Polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementrian sendiri yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri. Namun setiap negara memiliki karakteristik dan kondisi keamanannya masing-masing sehingga format dan corak serta sistem Kepolisian di suatu negara juga berbeda. Yang terpenting dalam kedudukan Polri adalah bagaiman membangun paradigma tentang akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama pengawasan yang aktif dapat dilakukan.
    Dalam UUD Negara RI  1945 sesungguhnya tidak ditegaskan tentang posisi kelembagaan Polri di bawah Presiden. Dalam pasal 30 ayat 5 hanya mengatur bahwa kedudukan Polri dan TNI diatur lebih lanjut dengan UU. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tantang Polri yang meletakan kedudukan Polri di bawah Presiden. Apalagi jika merujuk pada TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, disebutkan bahwa Polri adalah alat negara, dan ditegaskan berada di bawah Presiden. Polri dengan kedudukannya yang cukup strategis tersebut mengakibatkan Polri menjadi institusi yang selalu menjadi sorotan baik mengenai keberhasilan maupun kesalahannya. Kesalahan-kesalahan seperti kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri, pelanggaran HAM, kesalahan dalam proses penegakan hukum, prilaku negatif anggota dilapangan tersebut akan selalu dikaitkan dengan kedudukan yang dapat menyebabkan Polri melakukan abuse of power. Kedudukan Polri akan selalu dijadikan kambing hitam terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan Polri. Wacana reposisi akan selalu dihembuskan untuk ‘menebus’ setiap kesalahan yang dilakukan oleh Polri.
    Harus disadari ada beberapa kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentanng Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dapat menjadi celah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan :
    1.    UU Polri tidak secara ekplisit menegaskan bahwa anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali penegasan bahwa anggaran Kompolnas, sehingga dapat diduga bahwa sumber  anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah Polri dalam akuntabilitas dan transfaransi pemanfaatan anggaran.
    2.    Terdapat tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non operasional yang menentukan kebijakan strategis penyelenggaraan fungsi kepolisian negara. Dengan demikian ketentuan dalam UU no 2/2002 yang menyatakan Kapolri memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan teknis operasional, dalam kenyataannya lebih luas.
    3.    Dalam pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri yang mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dikatakan bahwa tugas Kompolnas a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; b) Memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Tugas Kompolnas  yang seharusnya cukup strategis itu dalam kenyataannya masih jauh dari harapan. Kompolnas belum dapat memainkan peranan secara signifikan. Bahkan apabila dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Kompolnas dapat berjalan dengan baik masih belum memadai sebagai kontrol operasional terhadap Kapolri.
    4.    Polri sebagai Polisi Nasional menyebabkan daerah enggan memberikan bantuan ataupun subsidi lainnya kepada institusi Polri. Hal ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen Polri kepada Kepala Daerah, sehingga Polri di daerah terintegrasi dalam konektivitas kelembagaan, dan Polri secara institusi akan mendapat dukungan anggaran operasional di daerah.
    Posisi dibawah Presiden seharusnya merupakan letak pertanggung jawaban secara manajemen, karena secara operasional Polisi secara universal harus independent, bebas tanpa dikendalikan oleh suatu kekuatan apapun, begitu pula seharusnya dengan Polri. Dengan kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus, yang memang harus diakui atau tidak merupakan suatu kondisi yang tidak tepat bagi tata pemerintahan yang baik (good governance). Kelemahan-kelemahan positioning Polri tersebut akan selalu menjadi pokok bahasan publik tentang perlu tidaknya dilakukan reposisi terhadap Polri.
    Usulan pengalihan posisi Polri di bawah Kementerian Pertahanan jelas tidak relevan mengingat kesejarahan pemisahan TNI dan Polri justru karena dalam rangka memisahkannya dari peran-peran pertahanan yang menjadi domain TNI. Sementara usulan di bawah Kemendagri, juga tidak menjamin independensi dan profesionalitas seperti yang dibayangkan. Meskipun pengkajian ke arah reposisi itu penting, tapi tidak bisa gegabah dilakukan apalagi dengan mempertentangkannya secara langsung sebagai pelanggaran konstitusional. Kemendagri sebagai organ negara di bawah Presiden juga tidak memberikan jaminan bagi independensi dan profesionalitas. Apabila Polri di posisikan di bawah suatu departemen maka seluruh anggota Polri akan terikat pada norma-norma yang bersifat hierarkis. Prinsip diskresi dan independen yang dimiliki oleh seorang anggota Polisi akan hilang.  Ia tidak akan berani menangkap bahkan memeriksa atasan dalam departemennya apalagi pejabat birokrasi pada departemen lain. Padahal Polisi yang Universal adalah Polisi yang merupakan komponen masyarakat yang bekerja berdasarkan prinsip diskresi.
    Seperti yang telah dikatakan diatas bahwa kajian terhadap reposisi Polri perlu mendapat perhatian tersendiri dengan maksud menempatkan kedudukan Polri yang tepat dimana Polri harus benar-benar sebagai institusi yang independen secara operasional namun secara manajemen penentuan kebijakan strategis Polri harus diatur kembali agar Polri juga tidak berubah menjadi intitusi yang full power karena tugas dan kewenangannya sehingga dapat menyebabkan timbulnya abuse of power.  Kalaupun situasi seperti sekarang tetap dipertahankan, Polri akan selalu disibukan untuk melakukan counter opinion untuk mempertahankan kedudukannya, sehingga energi yang seharusnya dihabiskan untuk melaksanakan fungsi dan perannya akan habis untuk hanya untuk membahas masalah tersebut.
    Berdasarkan banyak argumen yang berkembang dapat ditarik dua kesimpulan pilihan untuk mensikapi permasalahan kedudukan Polri yaitu yang pertama melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 terhadap kedudukan Polri dengan menempatkan di bawah departemen pemerintah dan yang kedua adalah memperkuat kedudukan Kompolnas. Secara teknis dan politis pilihan yang kedua lebih masuk akal. Dalam system Kepolisian, posisi Kompolnas memiliki fungsi yang sangat penting bukan hanya sebagai institusi yang mereprentasikan pemerintah juga mewaliki kepentingan rakyat yang memegang kunci dalam cek and balance agar fungsi Kepolisian dapat berjalan sebagaimana mestinya.Kompolnas dapat memainkan fungsi sentral strategis yang dapat menghubungkan Polri, Pemerintah dan rakyat/warganegara.
    Dalam pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri yang mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dikatakan bahwa tugas Kompolnas a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; b) Memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Kemudian dalam melaksanakan tugasnya Kompolnas berwenang untuk ;a) mengumpulkan dan menganalisa data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkait dengan anggaran Polri, pengembangan sumber daya manusia Polri dan pengembangan sarana dan prasarana Polri; b) memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri; c) menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja Kepolisian dan menyampaikan kepada Presiden. Pengembangan terhadap penguatan Kompolnas merupakan hal krusial sehingga dapat melakukan pengawasan bersifat administrasi kepada Polri. Salah satu bentuknya, Kompolnas akan diberi wewenang pemeriksaan internal di kepolisian. Selama ini, pemeriksaan internal di tubuh kepolisian dipimpin Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri. Semua kebijakan strategis dalam menajemen dan administrasi harus melaluikeputusan kolektif oleh anggota Kompolnas, sehingga secara otomatis Kapolri hanya melaksanakan keputusan strategis secara operasional saja.
    Susunan dan komposisi keanggotaan Kompolnas saat ini sudah tepat dalam mereprentasikan perwakilan pemerintah, Kepolisian dan masyarakat. Keanggotaan Kompolnas terdiri dari 9 anggota yang terdiri dari Seorang ketua merangkap anggota dijabat oleh Menkopolhukan, Wakil Ketua merangkap anggota yang dijabat oleh Mendagri dan Menkum dan Ham, Sekretaris merangkap anggota, dan 6 (enam) orang anggota. 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah, 3 (tiga) orang pakar kepolisian dan (tiga) orang tokoh masyarakat. Karena Mendagri merupakan salah satu anggota Kompolnas, maka Kompolnas diberikan wewenang untuk menunjuk Kepala Daerah (Gubernur dan Walikota) sebagai perwakilannya didaerah yang diberi kewenangan untuk melakukan kontrol yang bersifat administrasi (administrasi control) terhadap Kepolisian yang berada di daerah yuridiksinya.

    System Kepolisian
    Secara universal peran Polisi dalam kehidupan masyarakat dirumuska sebagai penegak hukum (law enforcement officer), pemelihara ketertiban (order enforcement officer) dan pembasmi kejahatan (crime fighter). Di negara demokratis sistem kepolisian dibagi dalam 3 model yaitu :
    1.    Fragmented System of Policing ( Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) : Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
    2.    Centralized System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah. Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
    3.    Integrated System of Policing ( Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, dan Inggris.
    Polri yang menurut UU no 2/2002 merupakan Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan perannya. Kepolisian Naional dalam system Kepolisian termasuk dalam sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing). Sistem Kepolisian yang bersifat Nasional merupakan pemilihan sistem Kepolisian yang tepat bagi Polri karena saat ini memang tren sistem Kepolisian di dunia mengarah pada Centralized System of Policing. Hal ini disebabkan karena perkembangan kejahatan yang semakin menghilangkan batasan antar wilayah. Namun sesuai dengan situasi dan kondisi kewilayahan yang di Indonesia dimana terdapat keragaman budaya, kebiasaan, adat istiadat dan nilai-nilai yang berkembang sehingga struktur organisasi Polri bersifat Nasional namun prediksi dan antisipasi Polri dalam pelaksanaan setiap peran, tugas, maupun misinya harus dilakukan dan terarah pada pendekatan keamanan (Scurity Approach) di setiap daerah hukum masing-masing dan dalam hal ini bukan berdasarkan pada pendekatan administrasi dan pemerintahan (Government Institution Approach) yang menjadi kecenderungan pemerintah daerah masing-masing.
    Semangat Otomomi daerah seharusnya juga memberikan warna dalam proses dan mekanisme pelimpahan dan atau penyerahan beberapa kewenangan fungsi tugas kepolisian dari pihak Mabes Polri ke kesatuan-kesatuan kewilayahan Polri secara hirarkhis atau berjenjang  (Polda, Polretabes, Polres/Polresta, maupun Polsek) dalam bentuk desentralisasi. Untuk menciptakan kondisi ini maka setiap satuan kewilayahan Polri di seluruh tingkatan untuk mampu menyiapkan konsepsi  yang berisikan wawasan (dialektika) maupun kultur tindakan (etika) guna memprediksi dan mengantisipasi berbagai problema yang bersangkutan dengan kebijakan pembentukan dan penerapan otonomi daerah di wilayah maisng-masing. Oleh karena itu makna mewujudkan profesional dan kemandirian Polri hendaknya dapat direalisasikan secara proporsional, efektif, dan efisien sesuai dialektika dan etika otonomi daerah.
    Format antisipasi Polri terhadap makna otonomi daerah, diperinci antara lain adalah Menyangkut aspek sharing of  power, maupun checks and ballances dalam proses pelimpahan dan atau pembagian kekuasaan dan atau kewenangan kepolisian dan Pemerintah Pusat (Mabes Polri) kepada Pemerintah Daerah (Polda, Polresltabes, Polres/Polresta, Polsek) kiranya dapat dilakukan dengan berdasarkan prinsip-prinsip pendelegasian kekuasaan dan atau kewenangan yang terkandung dalam semangat otonomi daerah di Indonesia, yaitu: prinsip desentralisasi yang diwujudkan dengan prosedur dan mekanisme pelimpahan beberapa kewenangan fungsi Kepolisian yang selama ini langsung dilaksanakan oleh unsur-unsur unit kerja di lingkungan Mabes Polri kepada pelaksana fungsi kepolisian di satuan-satuan kewilayahan dengan disertai dukungan pendanaan dari sumber anggaran dinas Mabes Polri (APBN). Selain itu dapat diwujudkan dengan prosedur dan mekanisme penyerahan beberapa kewenangan fungsi kepolisian dalam bidang pembinaan maupun operasional Polri kepada satuan-satuan kewilayahan Polri dengan dukungan pendanaan dari sumber anggaran dinas masing-masing kesatuan kewilayahan Polri yang bersangkutan dan atau diperoleh dari APBD pemerintah daerah setempat.
    Dalam system pengawasan sesuai dengan pola fikir pada pembahasan kedudukan Polri diatas dimana Kompolnas dapat menunjuk Kepaa daerah (Gubernur dan Walikota) sebagai perwakilannya di daerah yang diberi kewenangan untuk melakukan kontrol yang bersifat administratif (administratif control) terhadap Kepolisian yang berada di daerah yuridiksinya. Kepala daerah diberikan wewenang dalam mengamati dan meminta pertanggungjawaban masalah pelaksanaan tugas Kepolisian dalam pelaksanaan program keselamatan umum ditingkat propinsi. Selain itu Kepala daerah juga dapat meminta pertangungjawaban masalah penggunaan anggaran yang diberikan melalui APBD. Selama ini Kepala daerah melalui persetujuan DPRDnya dapat memberikan anggaran kepada Kepolisian di daerah namun tidak ada kewenangan secara formal untuk meminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan anggaran tersebut.

  • Copyright © 2013 - Hyperdimension Neptunia

    Sendie Nur Hidayat^^ - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan