Archive for Oktober 2014
Latar Belakang Perang dunia II beserta sebab umum dan khusus - Kelas 9
0
Bukti kegagalan LBB dapat dilihat pada ketidakmampuannya mencegah agresi yang dilakukan oleh suatu negara atas negara lain, misalnya:
a. Penyerbuan Jepang atas Manchuria (1931)
b. Pendudukan Italia atas Abbessynia (1935)
c. Penyerbuan Jerman atas Polandia (1939)
Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa menjalankan tugasnya disebabkan kelemahan dalam tubuh lembaga tersebut:
Latar Belakang
Perang Dunia ke II
Keadaan politik
internasional menjelang Perang Dunia II menyerupai keadaan tahun 1900-1914
sebelum Perang Dunia I. Ada yang menyatakan bahwa Perang Dunia II merupakan
lanjutan Perang Dunia I. Perang Dunia I merupakan balasm dendam Perancis
terhadap Jerman karena dipermalukan dalam kekalahannya ketika kalah perang
tahun 1870-1871. Selain itu dalam masalah industri, Jerman juga bersaing dengan
Inggris. Dengan persaingan-persaingan itu maka terbentuklah persekutuan militer
(aliansi). Ada dua persekutuan, yakni Triple Alliantie yang
kemudian dikenal dengan “Blok Sentral” yang terdiri atas Jerman, Austria dan
Italia.
Sedangkan Triple
Entente yang kemudian disebut “Blok Sekutu” yang terdiri atas Perancis,
Inggris, Rusia dan lain-lain. Pada tanggal 1 Agustus 1914 Jerman mengumumkan
perang kepada Rusia dan disusul Perancis mengumumkan perang kepada Jerman
tanggal 3 Agustus 1914. Kemudian tanggal 4 Agustus Inggris mengumumkan perang
kepada Jerman. Selanjutnya berkecamuklah perang yang hampir melibatkan seluruh
dunia dikenal dengan Perang Dunia I. Perang ini berakhir dengan kekalahan
Jerman yang menyerah pada tanggal 11 November 1918. Sebagai pihak yang kalah,
Jerman harus membayar ganti rugi kepada Sekutu dengan dikuatkan dalam
Perjanjian Versailles pada tahun 1919. Kekalahan Jerman dengan telak ini
memberi kesempatan kepada Adolf Hitler membangkitkan bangsanya untuk
melakukan balas dendam kepada Perancis. Adolf Hitler mengembangkan fasisme dan
kemudian memulai Perang Dunia II dengan menyerbu Polandia pada tanggal di kota
Danzig pada tanggal 1 September 1939. Peristiwa itulah yang menjadi sebab
langsung terjadinya Perang Dunia II.
Sebab - Sebab Umum dan Khusus terjadi
Perang Dunia ke II
Sebab umum :
- Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa ( Liga Bangsa-Bangsa ternyata tidak mampu mencegah
pertikaian-pertikaian yang terjadi, khususnya di Eropa. )
Trauma akan Perang Dunia I kemudian menginspirasi Presiden Amerika
Serikat, Woodrow Wilson untuk menciptakan suatu konsep perdamaian. Wilson
menuangkan pemikiran-pemikirannya ke dalam 14 poin untuk mencegah kembali
terjadinya perang. Namun, setelah 14 poin ini dideklarasikan kepada
negara-negara lain, hanya 4 poin yang berhasil disteujui sebab beberapa negara
seperti Inggris, Perancis, dan Italia merasa keberatan. 14 poin Wilsom ini
menjadi dasar atas pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dicetuskan oleh
Wilson. Meskipun Wilson sebagai Presiden AS sendiri yang merancang pembentukan
LBB, namun justru AS tidak bergabung di dalamnya. Sebab di dalam politik
internal AS, terjadi perbedaan pendapat di antara Kongres dan Senat. Untuk itu,
Wilson menyatakan bergabung dengan LBB atas nama pribadinya.
LBB ini kemudian disebut sebagai organisasi internasional yang bertujuan
untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini terlihat dari Preamble di dalam Covenant of The League of Nationsitu
sendiri yang menyatakan bahwa “In order to promote international
co-operation and to achieve international peace and security, by the acceptance
of obligations not to resort to war, by the prescription of open, just and
honourable relations between nations, by the firm establishment of the
understandings of international law as the actual rule of conduct among
Governments, and by the maintenance of justice and a scrupulous respect for all
treaty obligations in the dealings of organised peoples with one another, Agree
to this Covenant of the League of Nations” (Dorn, 2008). Dengan adanya Covenant of The League of Nations yang ditandatangani pada tahun 1919
ini dapat menjadi dasar hukum bagi LBB untuk menjalankan operasionalnya. Di
mana di dalam perjanjian ini terdapatPreamble serta 26 artikel yang menjelaskan
mengenai keanggotaan LBB hingga perubahan amandemen di dalam LBB itu sendiri.
Ketika LBB didirikan pada tahun 1920, 42 negara bersedia menjadi anggota
organisasi ini. Keanggotaan LBB ini terus meningkat hingga mencapai 58 negara
anggota di tahun 1934 hingga 1935 yang tersebar mulai dari Asia Tenggara,
Eropa, hingga Amerika Selatan
(http://geography.about.com/od/politicalgeography, 11 Oktober 2012). Kemudian
di masa akhir LBB ini berdiri sebelum akhirnya runtuh di tahun 1946, 63 negara
menyatakan bergabung menjadi negara anggota LBB. Dari 63 negara anggota LBB
ini, nama Amerika Serikat tidak termasuk di dalamnya. Hal ini seperti yang
telah diungkapkan sebelumnya bahwa AS menolak untuk bergabung ke dalam LBB
dikarenakan keengganan Senat AS untuk menyetujui dan meratifikasi perjanjian
LBB. Hal ini dikarenakan Senat tidak menyetujui Artikel kesepuluh dari Covenant of The League of Nationsmengenai
kewajiban negara anggota dalam menjamin kemerdekaan dan perlwanan terhadap
agresi. Penolakan Senat ini cukup kontras jika dilihat bahwa pencetus pendirian
LBB ini sendiri adalah Wilson yang merupakan Presiden AS.
Di dalam operasionalnya sebagai organisasi internasional, LBB memiliki
struktur yang juga tertuang dan diatur di dalam Covenant of The League of Nations.
Pada struktur ini, LBB memiliki tiga badan utama, yakni Assembly, Council, dan Secretariat. Di dalam Assembly, seluruh negara
anggota yang tergabung berkumpul setiap tahunnya untuk membicarakan mengenai
prioritas LBB sebagai organisasi. SedangkanCouncil merupakan badan yang terdiri
dari empat anggota tetap yakni Inggris, Perancis, Italia, dan Jepang serta
beberapa anggota tidak tetap yang dipilih setiap tiga tahun sekali
(http://geography.about.com/od/politicalgeography, 11 Oktober 2012). Pada badan Secretariat terdapat
Sekretaris Jendral yang bertugas untuk mengamati jalannya aktivitas di dalam
organisasi.
Keberadaan LBB sebagai organisasi internasional yang menjamin perdamaian
dan keamanan dunia tidak berlangsung lama. Di mana pada tahun 1946 LBB
dinyatakan bubar. Hal ini dikarenakan kegagalan LBB di dalam menangani sejumlah
peperangan yang masih muncul. Beberapa perang tersebut antara lain invasi
Italia terhadap Ethiopia di tahun 1935 dan invasi Jepang terhadap Manchuria di
tahun 1932. Sehingga hal ini cukup bertolak belakang dengan Artikel 11 dari Covenant of The League of Nationsyang
menyatakan bahwa setiap peperangan merupakan masalah di mana LBB wajib untuk
mengatasinya. Meletusnya Perang Dunia II menjadi titik balik serta alasan utama
yang semakin menyudutkan peran LBB, hingga kemudian LBB dinyatakan gagal dalam
menjaga perdamaian dan dibubarkan.
Ketiadaan peran dari negara besar seperti AS, Uni Soviet, dan Jerman
menjadi alasan lain dibalik gagalnya LBB di dalam menjaga perdamaian dan
keamanan internasional. Di mana dengan tidak adanya peran dari tiga negara
tersebut, secara otomatis hanya terdapat Inggris dan Perancis sebagai negara
yang memiliki pengaruh besar. Di lain sisi, Inggris dan Perancis memiliki
ketidaksepahaman dan sering timbul konflik di antara keduanya. Sehingga hal ini
menjadi alasan yang mendukung dibubarkannya LBB.
Dari penjabaran mengenai LBB ini maka penulis dapat menyimpulkan serta
beropini bahwa sebagai organisasi internasional, dasar hukum menjadi aspek
dasar paling penting di dalam pembentukan organisasi. Penolakan AS untuk masuk
ke dalam LBB karena tidak setuju terhadap salah satu Artikel LBB ini menjadi
contoh nyata mengenai seberapa penting dasar hukum bagi sebuah organisasi. Hal
ini juga menjadi contoh mengenai sifat kerelaan bagi suatu negara untuk
bergabung di dalam organisasi internasional dan kesesuaiannya dengan
kepentingan nasional negara tersebut. Di lain pihak, keberadaan AS sebagai
negara besar masih banyak berpengaruh di dalam dunia internasional. Terlihat
dari kegagalan LBB tanpa adanya pengaruh AS.
Bukti kegagalan LBB dapat dilihat pada ketidakmampuannya mencegah agresi yang dilakukan oleh suatu negara atas negara lain, misalnya:
a. Penyerbuan Jepang atas Manchuria (1931)
b. Pendudukan Italia atas Abbessynia (1935)
c. Penyerbuan Jerman atas Polandia (1939)
Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa menjalankan tugasnya disebabkan kelemahan dalam tubuh lembaga tersebut:
a. Tidak ada aturan yang bersifat
mengikat karena semua didasarkan atas sukarela.
b. Tidak mempunyai kekuatan untuk
menghukum negara-negara yang melanggar aturan Liga Bangsa-Bangsa.
c. Liga Bangsa-Bangsa lemah terhadap
negara-negara besar.
d. Liga Bangsa-Bangsa menjadi alat
politik negara-negara besar.
Walaupun
demikian LBB telah meletakkan dasar bagi manusia untuk memelihara hubungan
antarbangsa. Struktur Liga Bangsa-Bangsa juga kemudian mengilhami struktur
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
- Terjadinya perlombaan senjata ( Perasaan
saling curiga antar negara sehingga setiap negara berusaha mempersenjatai
dan meningkatkan kemampuan tempur masing-masing, sehingga terjadi
perlombaan senjata. )
Para negara-negara maju saling berlomba memperkuat militer dan persenjataanya, dengan kegagalan LBB tersebut, dunia barat terutama Jerman dan Italia mencurigai komunisme Rusia, tetapi kemudian Rusia mencurigai fasisme Italia dan nasional-sosialis Jerman. Oleh karena saling mencurigai akhirnya negara-negara tersebut memperkuat militer dan persenjataannya.
- Terbentuknya kembali aliansi
politik yang saling bermusuhan ( Karena selalu dihantui perasaan saling
curiga, maka setiap negara terus berusaha untuk memperkuat dirinya
masing-masing dengan jalan mencari kawan sebanyak mungkin. Keadaan itu
mendorong
- Terbentuknya
persekutuan-persekutuan / aliansi politik yang saling bertentangan. yakni Triple Alliantie
yang kemudian dikenal dengan “Blok
Sentral” yang terdiri atas Jerman, Austria dan Italia. Sedangkan Triple Entente yang kemudian
disebut “Blok Sekutu” yang
terdiri atas Perancis, Inggris, Uni Soviet dan lain-lain.)
- Timbulnya imperialisme baru ( Beberapa negara yang telah berhasil mengatasi krisis politik dan
ekonominya yang hancur akibat PD I, kemudian tumbuh menjadi Negara
ultranasional yang menjalankan imperialisme gaya baru. Negara-negara ini
merasa berhak dan berkewajiban untuk memimpin dan menguasai bangsa lain.
Dengan anggapan itulah, mereka melaksanakan imperialisme gaya baru mereka.)
- Munculnya semangat balas dendam ( Dendam dan keinginan untuk membalas kekalahan dalam PD I yang
dialami bangsa Jerman itu, terutama ditujukan kepada Inggris dan Perancis.)
- Perkembangan paham nasionalisme
yang sempit (
Menurut Hitler, bangsa Jerman atau
ras Aria adalah bangsa superior yang ditakdirkan Tuhan untuk memimpin
bangsa lain. Paham nasionalisme itu akhirnya mendorong Jerman melancarkan
politik ekspansi untuk menaklukkan negara-negara lain.)
- Terjadinya
penyerbuan-penyerbuan.
( Peristiwa penyerangan itu antara
lain sebagai berikut: Jepang menyerbu Cina pada tahun 1937. Jepang
menyerbu secara mendadak pangkalan armada AS di Pearl Harbour pada tanggal
7 Desember 1941. Peristiwa ini memicu
terjadinya Perang Pasifik.)
Sebab khusus :
1.
Di Eropa, (pada
tanggal 1 September 1939 Jerman menyerang Polandia, sebuah Negara di bawah
pengawasan Liga Bangsa-Bangsa. Sebaliknya pada tanggal 3 September 1939
negara-negara pendukung LBB, terutama Inggris dan Perancis menyerang Jerman.)
2. Di
Pasifik, (pada tanggal 8 September 1941
Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour,
Teluk Mutiara (Hawaii))
By : Sendie Nur Hidayat^^
PKn - Kedudukan Polri / Polisi
0
Kedudukan Polri
Polri merupakan salah
satu alat negara yang memiliki kedudukan paling problematik. Sesuai dengan
fungsi dan perannya, kedudukan Polri harus di tempatkan dalam posisi yang
independen. Namun disisi lain apabila independensi kedudukan Polri salah dalam penataan
systemnya maka Polri dapat menjelma menjadi institusi yang super power karena
tugas dan kewenangannya yang begitu luas. Di banyak negara demokratis,
posisi Polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di
bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementrian
sendiri yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri. Namun setiap
negara memiliki karakteristik dan kondisi keamanannya masing-masing sehingga
format dan corak serta sistem Kepolisian di suatu negara juga berbeda. Yang
terpenting dalam kedudukan Polri adalah bagaiman membangun paradigma tentang
akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan
terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya
peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama
pengawasan yang aktif dapat dilakukan.
Dalam UUD Negara RI
1945 sesungguhnya tidak ditegaskan tentang posisi kelembagaan Polri di
bawah Presiden. Dalam pasal 30 ayat 5 hanya mengatur bahwa kedudukan Polri dan
TNI diatur lebih lanjut dengan UU. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tantang
Polri yang meletakan kedudukan Polri di bawah Presiden. Apalagi jika merujuk
pada TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR RI
No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, disebutkan bahwa Polri adalah
alat negara, dan ditegaskan berada di bawah Presiden. Polri dengan kedudukannya
yang cukup strategis tersebut mengakibatkan Polri menjadi institusi yang selalu
menjadi sorotan baik mengenai keberhasilan maupun kesalahannya.
Kesalahan-kesalahan seperti kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri,
pelanggaran HAM, kesalahan dalam proses penegakan hukum, prilaku negatif
anggota dilapangan tersebut akan selalu dikaitkan dengan kedudukan yang dapat
menyebabkan Polri melakukan abuse of power.
Kedudukan Polri akan selalu dijadikan kambing hitam terhadap
kesalahan-kesalahan yang dilakukan Polri. Wacana reposisi akan selalu
dihembuskan untuk ‘menebus’ setiap kesalahan yang dilakukan oleh Polri.
Harus disadari ada
beberapa kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentanng Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dapat menjadi celah terjadinya penyimpangan dan
penyalahgunaan kewenangan :
1. UU Polri tidak secara ekplisit menegaskan bahwa
anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali penegasan bahwa anggaran Kompolnas,
sehingga dapat diduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos
masyarakat menjadi titik lemah Polri dalam akuntabilitas dan transfaransi
pemanfaatan anggaran.
2. Terdapat tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri.
Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai
kebijakan non operasional yang menentukan kebijakan strategis penyelenggaraan
fungsi kepolisian negara. Dengan demikian ketentuan dalam UU no 2/2002 yang
menyatakan Kapolri memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan teknis
operasional, dalam kenyataannya lebih luas.
3. Dalam pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri yang
mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dikatakan bahwa tugas Kompolnas
a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; b) Memberi
pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Tugas Kompolnas yang seharusnya cukup strategis itu dalam kenyataannya
masih jauh dari harapan. Kompolnas belum dapat memainkan peranan secara
signifikan. Bahkan apabila dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Kompolnas
dapat berjalan dengan baik masih belum memadai sebagai kontrol operasional
terhadap Kapolri.
4. Polri sebagai Polisi Nasional menyebabkan daerah
enggan memberikan bantuan ataupun subsidi lainnya kepada institusi Polri. Hal
ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen
Polri kepada Kepala Daerah, sehingga Polri di daerah terintegrasi dalam
konektivitas kelembagaan, dan Polri secara institusi akan mendapat dukungan
anggaran operasional di daerah.
Posisi dibawah Presiden
seharusnya merupakan letak pertanggung jawaban secara manajemen, karena secara
operasional Polisi secara universal harus independent, bebas tanpa dikendalikan
oleh suatu kekuatan apapun, begitu pula seharusnya dengan Polri. Dengan
kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga
yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus, yang memang harus diakui
atau tidak merupakan suatu kondisi yang tidak tepat bagi tata pemerintahan yang
baik (good governance). Kelemahan-kelemahan positioning Polri tersebut akan
selalu menjadi pokok bahasan publik tentang perlu tidaknya dilakukan reposisi
terhadap Polri.
Usulan pengalihan posisi
Polri di bawah Kementerian Pertahanan jelas tidak relevan mengingat
kesejarahan pemisahan TNI dan Polri justru karena dalam rangka memisahkannya
dari peran-peran pertahanan yang menjadi domain TNI. Sementara usulan di bawah
Kemendagri, juga tidak menjamin independensi dan profesionalitas seperti
yang dibayangkan. Meskipun pengkajian ke arah reposisi itu penting, tapi tidak
bisa gegabah dilakukan apalagi dengan mempertentangkannya secara langsung
sebagai pelanggaran konstitusional. Kemendagri sebagai organ negara di bawah
Presiden juga tidak memberikan jaminan bagi independensi dan profesionalitas.
Apabila Polri di posisikan di bawah suatu departemen maka seluruh anggota
Polri akan terikat pada norma-norma yang bersifat hierarkis. Prinsip diskresi dan independen yang dimiliki oleh
seorang anggota Polisi akan hilang. Ia tidak akan berani menangkap bahkan
memeriksa atasan dalam departemennya apalagi pejabat birokrasi pada departemen
lain. Padahal Polisi yang Universal adalah Polisi yang merupakan komponen
masyarakat yang bekerja berdasarkan prinsip diskresi.
Seperti yang telah
dikatakan diatas bahwa kajian terhadap reposisi Polri perlu mendapat perhatian
tersendiri dengan maksud menempatkan kedudukan Polri yang tepat dimana Polri
harus benar-benar sebagai institusi yang independen secara operasional namun
secara manajemen penentuan kebijakan strategis Polri harus diatur kembali agar
Polri juga tidak berubah menjadi intitusi yang full
power karena tugas dan kewenangannya sehingga dapat
menyebabkan timbulnya abuse of power.
Kalaupun situasi seperti sekarang tetap dipertahankan, Polri akan selalu
disibukan untuk melakukan counter opinion untuk mempertahankan
kedudukannya, sehingga energi yang seharusnya dihabiskan untuk melaksanakan
fungsi dan perannya akan habis untuk hanya untuk membahas masalah tersebut.
Berdasarkan banyak
argumen yang berkembang dapat ditarik dua kesimpulan pilihan untuk mensikapi
permasalahan kedudukan Polri yaitu yang pertama melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 terhadap kedudukan Polri
dengan menempatkan di bawah departemen pemerintah dan yang kedua adalah memperkuat
kedudukan Kompolnas. Secara teknis dan politis pilihan yang kedua lebih
masuk akal. Dalam system Kepolisian, posisi Kompolnas memiliki fungsi yang sangat
penting bukan hanya sebagai institusi yang mereprentasikan pemerintah juga
mewaliki kepentingan rakyat yang memegang kunci dalam cek
and balance agar fungsi Kepolisian dapat berjalan sebagaimana
mestinya.Kompolnas dapat memainkan fungsi sentral strategis yang dapat
menghubungkan Polri, Pemerintah dan rakyat/warganegara.
Dalam pasal 38 UU no
2/2002 tentang Polri yang mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
dikatakan bahwa tugas Kompolnas a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah
kebijakan Polri dan; b) Memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan
dan pemberhentian Kapolri. Kemudian dalam melaksanakan tugasnya Kompolnas
berwenang untuk ;a) mengumpulkan dan menganalisa data sebagai bahan pemberian
saran kepada Presiden yang berkait dengan anggaran Polri, pengembangan sumber
daya manusia Polri dan pengembangan sarana dan prasarana Polri; b) memberikan
saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang
profesional dan mandiri; c) menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai
kinerja Kepolisian dan menyampaikan kepada Presiden. Pengembangan
terhadap penguatan Kompolnas merupakan hal krusial sehingga dapat melakukan
pengawasan bersifat administrasi kepada Polri. Salah satu bentuknya, Kompolnas
akan diberi wewenang pemeriksaan internal di
kepolisian. Selama ini, pemeriksaan internal di tubuh kepolisian dipimpin
Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri. Semua kebijakan
strategis dalam menajemen dan administrasi harus melaluikeputusan
kolektif oleh anggota Kompolnas, sehingga secara otomatis Kapolri
hanya melaksanakan keputusan strategis secara operasional saja.
Susunan dan komposisi
keanggotaan Kompolnas saat ini sudah tepat dalam mereprentasikan perwakilan
pemerintah, Kepolisian dan masyarakat. Keanggotaan Kompolnas terdiri dari 9
anggota yang terdiri dari Seorang ketua merangkap anggota dijabat oleh
Menkopolhukan, Wakil Ketua merangkap anggota yang dijabat oleh Mendagri dan
Menkum dan Ham, Sekretaris merangkap anggota, dan 6 (enam) orang anggota. 3
(tiga) orang dari unsur pemerintah, 3 (tiga) orang pakar kepolisian dan (tiga)
orang tokoh masyarakat. Karena Mendagri merupakan salah satu anggota Kompolnas,
maka Kompolnas diberikan wewenang untuk menunjuk Kepala Daerah (Gubernur
dan Walikota) sebagai perwakilannya didaerah yang diberi kewenangan
untuk melakukan kontrol yang bersifat administrasi (administrasi
control) terhadap Kepolisian yang berada di daerah yuridiksinya.
System Kepolisian
Secara universal peran
Polisi dalam kehidupan masyarakat dirumuska sebagai penegak hukum (law
enforcement officer), pemelihara ketertiban (order enforcement officer) dan
pembasmi kejahatan (crime fighter). Di negara demokratis sistem kepolisian
dibagi dalam 3 model yaitu :
1. Fragmented System of Policing (
Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) : Disebut juga system
Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran
terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan
pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu
Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
2. Centralized System of Policing (
Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah.
Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia,
Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
3. Integrated System of Policing (
Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau
kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah
pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional
serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang
menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, dan Inggris.
Polri yang menurut UU no
2/2002 merupakan Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam
melaksanakan perannya. Kepolisian Naional dalam system Kepolisian termasuk
dalam sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing).
Sistem Kepolisian yang bersifat Nasional merupakan pemilihan sistem Kepolisian
yang tepat bagi Polri karena saat ini memang tren sistem Kepolisian di dunia
mengarah pada Centralized System of Policing. Hal
ini disebabkan karena perkembangan kejahatan yang semakin menghilangkan batasan
antar wilayah. Namun sesuai dengan situasi dan kondisi kewilayahan yang di
Indonesia dimana terdapat keragaman budaya, kebiasaan, adat istiadat dan
nilai-nilai yang berkembang sehingga struktur organisasi Polri bersifat
Nasional namun prediksi dan antisipasi Polri dalam pelaksanaan setiap peran,
tugas, maupun misinya harus dilakukan dan terarah pada pendekatan keamanan (Scurity
Approach) di setiap daerah hukum masing-masing dan dalam hal ini bukan
berdasarkan pada pendekatan administrasi dan pemerintahan (Government
Institution Approach) yang menjadi kecenderungan pemerintah daerah
masing-masing.
Semangat Otomomi daerah
seharusnya juga memberikan warna dalam proses dan mekanisme pelimpahan dan atau
penyerahan beberapa kewenangan fungsi tugas kepolisian dari pihak Mabes Polri
ke kesatuan-kesatuan kewilayahan Polri secara hirarkhis atau berjenjang
(Polda, Polretabes, Polres/Polresta, maupun Polsek) dalam bentuk
desentralisasi. Untuk menciptakan kondisi ini maka setiap satuan kewilayahan
Polri di seluruh tingkatan untuk mampu menyiapkan konsepsi yang berisikan
wawasan (dialektika) maupun kultur tindakan (etika) guna memprediksi dan
mengantisipasi berbagai problema yang bersangkutan dengan kebijakan pembentukan
dan penerapan otonomi daerah di wilayah maisng-masing. Oleh karena itu makna mewujudkan
profesional dan kemandirian Polri hendaknya dapat direalisasikan secara
proporsional, efektif, dan efisien sesuai dialektika dan etika otonomi daerah.
Format antisipasi Polri
terhadap makna otonomi daerah, diperinci antara lain adalah Menyangkut aspek sharing
of power, maupun checks
and ballances dalam proses pelimpahan dan atau pembagian kekuasaan
dan atau kewenangan kepolisian dan Pemerintah Pusat (Mabes Polri) kepada
Pemerintah Daerah (Polda, Polresltabes, Polres/Polresta, Polsek) kiranya dapat
dilakukan dengan berdasarkan prinsip-prinsip pendelegasian kekuasaan dan atau
kewenangan yang terkandung dalam semangat otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
prinsip desentralisasi yang diwujudkan dengan prosedur dan mekanisme pelimpahan
beberapa kewenangan fungsi Kepolisian yang selama ini langsung dilaksanakan
oleh unsur-unsur unit kerja di lingkungan Mabes Polri kepada pelaksana fungsi
kepolisian di satuan-satuan kewilayahan dengan disertai dukungan pendanaan dari
sumber anggaran dinas Mabes Polri (APBN). Selain itu dapat diwujudkan dengan
prosedur dan mekanisme penyerahan beberapa kewenangan fungsi kepolisian dalam
bidang pembinaan maupun operasional Polri kepada satuan-satuan kewilayahan
Polri dengan dukungan pendanaan dari sumber anggaran dinas masing-masing kesatuan
kewilayahan Polri yang bersangkutan dan atau diperoleh dari APBD pemerintah
daerah setempat.
Dalam system pengawasan
sesuai dengan pola fikir pada pembahasan kedudukan Polri diatas dimana
Kompolnas dapat menunjuk Kepaa daerah (Gubernur dan Walikota) sebagai
perwakilannya di daerah yang diberi kewenangan untuk melakukan kontrol yang
bersifat administratif (administratif control) terhadap Kepolisian yang berada
di daerah yuridiksinya. Kepala daerah diberikan wewenang dalam mengamati dan
meminta pertanggungjawaban masalah pelaksanaan tugas Kepolisian dalam
pelaksanaan program keselamatan umum ditingkat propinsi. Selain itu Kepala
daerah juga dapat meminta pertangungjawaban masalah penggunaan anggaran yang
diberikan melalui APBD. Selama ini Kepala daerah melalui persetujuan DPRDnya
dapat memberikan anggaran kepada Kepolisian di daerah namun tidak ada
kewenangan secara formal untuk meminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan
anggaran tersebut.
By : Sendie Nur Hidayat^^