Posted by : Sendie Nur Hidayat^^
Kamis, 30 Oktober 2014
Kedudukan Polri
Polri merupakan salah
satu alat negara yang memiliki kedudukan paling problematik. Sesuai dengan
fungsi dan perannya, kedudukan Polri harus di tempatkan dalam posisi yang
independen. Namun disisi lain apabila independensi kedudukan Polri salah dalam penataan
systemnya maka Polri dapat menjelma menjadi institusi yang super power karena
tugas dan kewenangannya yang begitu luas. Di banyak negara demokratis,
posisi Polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di
bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementrian
sendiri yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri. Namun setiap
negara memiliki karakteristik dan kondisi keamanannya masing-masing sehingga
format dan corak serta sistem Kepolisian di suatu negara juga berbeda. Yang
terpenting dalam kedudukan Polri adalah bagaiman membangun paradigma tentang
akuntabiltas pada substansi, bukan pada wadah. Posisi di manapun Polri akan
terukur sejauh mana akuntabilitas Polri dapat dipertanggungjawabkan. Artinya
peluang untuk tetap di posisi seperti sekarang besar peluangnya selama
pengawasan yang aktif dapat dilakukan.
Dalam UUD Negara RI
1945 sesungguhnya tidak ditegaskan tentang posisi kelembagaan Polri di
bawah Presiden. Dalam pasal 30 ayat 5 hanya mengatur bahwa kedudukan Polri dan
TNI diatur lebih lanjut dengan UU. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tantang
Polri yang meletakan kedudukan Polri di bawah Presiden. Apalagi jika merujuk
pada TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR RI
No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, disebutkan bahwa Polri adalah
alat negara, dan ditegaskan berada di bawah Presiden. Polri dengan kedudukannya
yang cukup strategis tersebut mengakibatkan Polri menjadi institusi yang selalu
menjadi sorotan baik mengenai keberhasilan maupun kesalahannya.
Kesalahan-kesalahan seperti kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri,
pelanggaran HAM, kesalahan dalam proses penegakan hukum, prilaku negatif
anggota dilapangan tersebut akan selalu dikaitkan dengan kedudukan yang dapat
menyebabkan Polri melakukan abuse of power.
Kedudukan Polri akan selalu dijadikan kambing hitam terhadap
kesalahan-kesalahan yang dilakukan Polri. Wacana reposisi akan selalu
dihembuskan untuk ‘menebus’ setiap kesalahan yang dilakukan oleh Polri.
Harus disadari ada
beberapa kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentanng Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dapat menjadi celah terjadinya penyimpangan dan
penyalahgunaan kewenangan :
1. UU Polri tidak secara ekplisit menegaskan bahwa
anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali penegasan bahwa anggaran Kompolnas,
sehingga dapat diduga bahwa sumber anggaran off-budget dari pos
masyarakat menjadi titik lemah Polri dalam akuntabilitas dan transfaransi
pemanfaatan anggaran.
2. Terdapat tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri.
Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai
kebijakan non operasional yang menentukan kebijakan strategis penyelenggaraan
fungsi kepolisian negara. Dengan demikian ketentuan dalam UU no 2/2002 yang
menyatakan Kapolri memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan teknis
operasional, dalam kenyataannya lebih luas.
3. Dalam pasal 38 UU no 2/2002 tentang Polri yang
mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dikatakan bahwa tugas Kompolnas
a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dan; b) Memberi
pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.
Tugas Kompolnas yang seharusnya cukup strategis itu dalam kenyataannya
masih jauh dari harapan. Kompolnas belum dapat memainkan peranan secara
signifikan. Bahkan apabila dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Kompolnas
dapat berjalan dengan baik masih belum memadai sebagai kontrol operasional
terhadap Kapolri.
4. Polri sebagai Polisi Nasional menyebabkan daerah
enggan memberikan bantuan ataupun subsidi lainnya kepada institusi Polri. Hal
ini terkait dengan tidak adanya share dalam bentuk desentralisasi manajemen
Polri kepada Kepala Daerah, sehingga Polri di daerah terintegrasi dalam
konektivitas kelembagaan, dan Polri secara institusi akan mendapat dukungan
anggaran operasional di daerah.
Posisi dibawah Presiden
seharusnya merupakan letak pertanggung jawaban secara manajemen, karena secara
operasional Polisi secara universal harus independent, bebas tanpa dikendalikan
oleh suatu kekuatan apapun, begitu pula seharusnya dengan Polri. Dengan
kedudukan langsung di bawah presiden, Polri memosisikan diri sebagai lembaga
yang memproduksi kebijakan, dan operasional sekaligus, yang memang harus diakui
atau tidak merupakan suatu kondisi yang tidak tepat bagi tata pemerintahan yang
baik (good governance). Kelemahan-kelemahan positioning Polri tersebut akan
selalu menjadi pokok bahasan publik tentang perlu tidaknya dilakukan reposisi
terhadap Polri.
Usulan pengalihan posisi
Polri di bawah Kementerian Pertahanan jelas tidak relevan mengingat
kesejarahan pemisahan TNI dan Polri justru karena dalam rangka memisahkannya
dari peran-peran pertahanan yang menjadi domain TNI. Sementara usulan di bawah
Kemendagri, juga tidak menjamin independensi dan profesionalitas seperti
yang dibayangkan. Meskipun pengkajian ke arah reposisi itu penting, tapi tidak
bisa gegabah dilakukan apalagi dengan mempertentangkannya secara langsung
sebagai pelanggaran konstitusional. Kemendagri sebagai organ negara di bawah
Presiden juga tidak memberikan jaminan bagi independensi dan profesionalitas.
Apabila Polri di posisikan di bawah suatu departemen maka seluruh anggota
Polri akan terikat pada norma-norma yang bersifat hierarkis. Prinsip diskresi dan independen yang dimiliki oleh
seorang anggota Polisi akan hilang. Ia tidak akan berani menangkap bahkan
memeriksa atasan dalam departemennya apalagi pejabat birokrasi pada departemen
lain. Padahal Polisi yang Universal adalah Polisi yang merupakan komponen
masyarakat yang bekerja berdasarkan prinsip diskresi.
Seperti yang telah
dikatakan diatas bahwa kajian terhadap reposisi Polri perlu mendapat perhatian
tersendiri dengan maksud menempatkan kedudukan Polri yang tepat dimana Polri
harus benar-benar sebagai institusi yang independen secara operasional namun
secara manajemen penentuan kebijakan strategis Polri harus diatur kembali agar
Polri juga tidak berubah menjadi intitusi yang full
power karena tugas dan kewenangannya sehingga dapat
menyebabkan timbulnya abuse of power.
Kalaupun situasi seperti sekarang tetap dipertahankan, Polri akan selalu
disibukan untuk melakukan counter opinion untuk mempertahankan
kedudukannya, sehingga energi yang seharusnya dihabiskan untuk melaksanakan
fungsi dan perannya akan habis untuk hanya untuk membahas masalah tersebut.
Berdasarkan banyak
argumen yang berkembang dapat ditarik dua kesimpulan pilihan untuk mensikapi
permasalahan kedudukan Polri yaitu yang pertama melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 terhadap kedudukan Polri
dengan menempatkan di bawah departemen pemerintah dan yang kedua adalah memperkuat
kedudukan Kompolnas. Secara teknis dan politis pilihan yang kedua lebih
masuk akal. Dalam system Kepolisian, posisi Kompolnas memiliki fungsi yang sangat
penting bukan hanya sebagai institusi yang mereprentasikan pemerintah juga
mewaliki kepentingan rakyat yang memegang kunci dalam cek
and balance agar fungsi Kepolisian dapat berjalan sebagaimana
mestinya.Kompolnas dapat memainkan fungsi sentral strategis yang dapat
menghubungkan Polri, Pemerintah dan rakyat/warganegara.
Dalam pasal 38 UU no
2/2002 tentang Polri yang mengatur Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
dikatakan bahwa tugas Kompolnas a) Membantu Presiden dalam menetapkan arah
kebijakan Polri dan; b) Memberi pertimbangan kepada presiden dalam pengangkatan
dan pemberhentian Kapolri. Kemudian dalam melaksanakan tugasnya Kompolnas
berwenang untuk ;a) mengumpulkan dan menganalisa data sebagai bahan pemberian
saran kepada Presiden yang berkait dengan anggaran Polri, pengembangan sumber
daya manusia Polri dan pengembangan sarana dan prasarana Polri; b) memberikan
saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang
profesional dan mandiri; c) menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai
kinerja Kepolisian dan menyampaikan kepada Presiden. Pengembangan
terhadap penguatan Kompolnas merupakan hal krusial sehingga dapat melakukan
pengawasan bersifat administrasi kepada Polri. Salah satu bentuknya, Kompolnas
akan diberi wewenang pemeriksaan internal di
kepolisian. Selama ini, pemeriksaan internal di tubuh kepolisian dipimpin
Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri. Semua kebijakan
strategis dalam menajemen dan administrasi harus melaluikeputusan
kolektif oleh anggota Kompolnas, sehingga secara otomatis Kapolri
hanya melaksanakan keputusan strategis secara operasional saja.
Susunan dan komposisi
keanggotaan Kompolnas saat ini sudah tepat dalam mereprentasikan perwakilan
pemerintah, Kepolisian dan masyarakat. Keanggotaan Kompolnas terdiri dari 9
anggota yang terdiri dari Seorang ketua merangkap anggota dijabat oleh
Menkopolhukan, Wakil Ketua merangkap anggota yang dijabat oleh Mendagri dan
Menkum dan Ham, Sekretaris merangkap anggota, dan 6 (enam) orang anggota. 3
(tiga) orang dari unsur pemerintah, 3 (tiga) orang pakar kepolisian dan (tiga)
orang tokoh masyarakat. Karena Mendagri merupakan salah satu anggota Kompolnas,
maka Kompolnas diberikan wewenang untuk menunjuk Kepala Daerah (Gubernur
dan Walikota) sebagai perwakilannya didaerah yang diberi kewenangan
untuk melakukan kontrol yang bersifat administrasi (administrasi
control) terhadap Kepolisian yang berada di daerah yuridiksinya.
System Kepolisian
Secara universal peran
Polisi dalam kehidupan masyarakat dirumuska sebagai penegak hukum (law
enforcement officer), pemelihara ketertiban (order enforcement officer) dan
pembasmi kejahatan (crime fighter). Di negara demokratis sistem kepolisian
dibagi dalam 3 model yaitu :
1. Fragmented System of Policing (
Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) : Disebut juga system
Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system, dimana adanya kekhawatiran
terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi yang otonom dan dilakukan
pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh Negara-negara yaitu
Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
2. Centralized System of Policing (
Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah.
Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia,
Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
3. Integrated System of Policing (
Sistem Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau
kombinasi atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah
pusat dan daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional
serta efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang
menganut hal ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, dan Inggris.
Polri yang menurut UU no
2/2002 merupakan Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam
melaksanakan perannya. Kepolisian Naional dalam system Kepolisian termasuk
dalam sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing).
Sistem Kepolisian yang bersifat Nasional merupakan pemilihan sistem Kepolisian
yang tepat bagi Polri karena saat ini memang tren sistem Kepolisian di dunia
mengarah pada Centralized System of Policing. Hal
ini disebabkan karena perkembangan kejahatan yang semakin menghilangkan batasan
antar wilayah. Namun sesuai dengan situasi dan kondisi kewilayahan yang di
Indonesia dimana terdapat keragaman budaya, kebiasaan, adat istiadat dan
nilai-nilai yang berkembang sehingga struktur organisasi Polri bersifat
Nasional namun prediksi dan antisipasi Polri dalam pelaksanaan setiap peran,
tugas, maupun misinya harus dilakukan dan terarah pada pendekatan keamanan (Scurity
Approach) di setiap daerah hukum masing-masing dan dalam hal ini bukan
berdasarkan pada pendekatan administrasi dan pemerintahan (Government
Institution Approach) yang menjadi kecenderungan pemerintah daerah
masing-masing.
Semangat Otomomi daerah
seharusnya juga memberikan warna dalam proses dan mekanisme pelimpahan dan atau
penyerahan beberapa kewenangan fungsi tugas kepolisian dari pihak Mabes Polri
ke kesatuan-kesatuan kewilayahan Polri secara hirarkhis atau berjenjang
(Polda, Polretabes, Polres/Polresta, maupun Polsek) dalam bentuk
desentralisasi. Untuk menciptakan kondisi ini maka setiap satuan kewilayahan
Polri di seluruh tingkatan untuk mampu menyiapkan konsepsi yang berisikan
wawasan (dialektika) maupun kultur tindakan (etika) guna memprediksi dan
mengantisipasi berbagai problema yang bersangkutan dengan kebijakan pembentukan
dan penerapan otonomi daerah di wilayah maisng-masing. Oleh karena itu makna mewujudkan
profesional dan kemandirian Polri hendaknya dapat direalisasikan secara
proporsional, efektif, dan efisien sesuai dialektika dan etika otonomi daerah.
Format antisipasi Polri
terhadap makna otonomi daerah, diperinci antara lain adalah Menyangkut aspek sharing
of power, maupun checks
and ballances dalam proses pelimpahan dan atau pembagian kekuasaan
dan atau kewenangan kepolisian dan Pemerintah Pusat (Mabes Polri) kepada
Pemerintah Daerah (Polda, Polresltabes, Polres/Polresta, Polsek) kiranya dapat
dilakukan dengan berdasarkan prinsip-prinsip pendelegasian kekuasaan dan atau
kewenangan yang terkandung dalam semangat otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
prinsip desentralisasi yang diwujudkan dengan prosedur dan mekanisme pelimpahan
beberapa kewenangan fungsi Kepolisian yang selama ini langsung dilaksanakan
oleh unsur-unsur unit kerja di lingkungan Mabes Polri kepada pelaksana fungsi
kepolisian di satuan-satuan kewilayahan dengan disertai dukungan pendanaan dari
sumber anggaran dinas Mabes Polri (APBN). Selain itu dapat diwujudkan dengan
prosedur dan mekanisme penyerahan beberapa kewenangan fungsi kepolisian dalam
bidang pembinaan maupun operasional Polri kepada satuan-satuan kewilayahan
Polri dengan dukungan pendanaan dari sumber anggaran dinas masing-masing kesatuan
kewilayahan Polri yang bersangkutan dan atau diperoleh dari APBD pemerintah
daerah setempat.
Dalam system pengawasan
sesuai dengan pola fikir pada pembahasan kedudukan Polri diatas dimana
Kompolnas dapat menunjuk Kepaa daerah (Gubernur dan Walikota) sebagai
perwakilannya di daerah yang diberi kewenangan untuk melakukan kontrol yang
bersifat administratif (administratif control) terhadap Kepolisian yang berada
di daerah yuridiksinya. Kepala daerah diberikan wewenang dalam mengamati dan
meminta pertanggungjawaban masalah pelaksanaan tugas Kepolisian dalam
pelaksanaan program keselamatan umum ditingkat propinsi. Selain itu Kepala
daerah juga dapat meminta pertangungjawaban masalah penggunaan anggaran yang
diberikan melalui APBD. Selama ini Kepala daerah melalui persetujuan DPRDnya
dapat memberikan anggaran kepada Kepolisian di daerah namun tidak ada
kewenangan secara formal untuk meminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan
anggaran tersebut.